Yay! My 3rd Short Story on Singgalang Newspaper.
wednesday edition, June 1 2011
It's gonna be a looong day.
Happy Reading! :)
<3
Senja Yang Senja
Oleh: Aul Howler
Aku adalah
Senja. Dan aku adalah Senja yang senja. Nah, dahi mu jangan berkerut dulu,
berusaha memahami apa yang baru saja kamu baca. Dengar dulu aku berkata-kata,
barulah kamu boleh melakukan apa saja, termasuk bingung atau tersenyum atau tertawa
atau mencela.
Ya, Senja adalah nama yang diberikan
almarhum orang tuaku untukku, putrinya yang paling bungsu. Nama lengkapku Dewi
Nara Senja. Nama yang bagus bukan? Ibu memanggilku Dewi, sedangkan ayah
memanggilku Senja.
Jujur saja, aku lebih senang dengan panggilan yang diberikan ayah.
Menurutku, panggilan ‘Dewi’ terlalu feminim. Tidak cocok untukku yang senang
memanjat pohon, berenang di sungai dan bermain layangan. Sedangkan ‘Senja’
terdengar lebih baik. Tidak begitu manis, tidak begitu ayu, dan lumayan sesuai
dengan karakterku yang menurut teman-temanku – hampir semuanya laki-laki –
sangat aneh. Aneh karena di waktu aku kecil dulu, sangat langka kejadiannya
gadis berkepang dua hampir tak pernah pakai rok. Yah, aku memang tomboy, kau
tahu.
Tapi sumpah, aku juga merasa lebih
senang dipanggil Dewi oleh ibuku, daripada panggilan yang diberikan teman-teman
padaku. Mereka menyapaku dengan ‘Inja’. Menjijikkan sekali bila mereka
mengolok-olok panggilanku dengan menambahkan huruf ‘T’ Sebelum ‘Inja’. Padahal
aku tak pernah bau, mengingat kakak-kakakku senang meracik minyak wangi
untukku. Yah, semua menyayangiku. Namanya juga anak bungsu
yang senja. Senja untuk namaku, dan senja untuk usiaku. Begitulah, umurku
sudah
69 tahun sekarang. Walau begitu, aku masih sanggup mengetik ratusan kalimat
lagi karena yah… Sejak umur 68 tahun dimana bicaraku mulai susah – bicara membuatku
amat lelah, dan aku lebih sering berbisik atau bicara terbata-bata – Zafi, cucuku, menghadiahiku sebuah komputer
dengan keyboard berkabel panjang.
Mulanya untuk membantuku menyampaikan apa yang susah ku ucapkan. Jadi,
orang-orang di sekitarku bisa mengerti apa yang kuinginkan, walaupun aku tak
bicara. Tapi, belakangan aku lebih sering menggunakannya untuk melakukan hal
lain: menulis – hobiku sejak masih SMA dulu – untuk diterbitkan di koran-koran.
Asal tahu saja, sebelum berusia senja, namaku cukup dikenal sebagai
penulis. Dan karena itulah, aku telah terbiasa menulis – atau mengetik haha.
Aku selalu menulis ‘TAMBAH MIL’ untuk Mila, gadis yang merawatku –
semacam pengasuh – bila aku telah menghabiskan semangkuk bubur ayam. Aku selalu
menulis ‘AYO KITA JALAN-JALAN KE TAMAN MIL’ bila aku bosan di kamar.
Hihi, sebenarnya aku merasa kasihan juga pada Mila. Ia selalu repot
mengurusiku, yang sudah tua dan mulai tak berdaya. Ia selalu mengantarkan
makanan untukku. Ia selalu merapikan tempat tidurku, agar aku bisa istirahat
dengan nyaman. Ia selalu mendorong kursi rodaku, bila aku ingin pergi ke
mana-mana. Ia bahkan tidak jijik, saat membantuku di toilet.
Dan Mila tak pernah mengeluh. Dia merawatku dengan tulus, walaupun aku
yakin Zafi tak menggajinya dengan layak. Well, aku memang tak pernah melihat
bagaimana cucuku itu menggajinya. Yang kutahu hanya ia membawa Mila ke rumah
setahun lalu. Masih segar diingatanku, saat itu ia berkata, “Nek, perkenalkan
ini Mila. Mulai hari ini dia yang akan merawat Nenek,”
Dan Zafi pergi meninggalkanku, hanya berdua dengan Mila, di rumah yang
besar dan mewah ini. Ya, Zafi memang berhasil dalam pekerjaannya. Ia melanjutkan
perusahaan yang diwariskan oleh almarhum putraku. Dan ia juga memiliki hak
milik atas butik terkenal yang diwariskan oleh almarhum menantuku.
Yang sedikit menyakitkan, Zafi – cucuku yang nakal itu – meninggalkanku
dengan alasan ingin menuntaskan pekerjaannya di luar
bersamaku. Ia berjanji akan kembali di bulan April. Dan sekarang bulan April,
bahkan dua hari lagi April akan berakhir. Tapi agaknya belum ada tanda ia akan
datang. Apa benar ia akan datang?
Biarlah. Toh, aku terlanjur marah kepadanya, karena dia tak lagi
menyayangiku. Yang ada di pikirannya saat ini hanya uang-uang dan uang. Demi
uang ia rela meninggalkanku. Cucu macam apa itu! Huh!
Untung saja ia meninggalkan Mila bersamaku. Dan tulusnya kasih sayang
Mila padaku membuatku menyayangi gadis itu pula. Lebih dan lebih dari sayangku
kepada Zafi, cucuku sendiri, yang gila harta itu.
Mila selalu tersenyum manakala merawatku. Padahal hari-harinya kelabu
karena aku. Saat gadis-gadis lain sebayanya sudah menikah dan punya anak, ia
masih single, dan harus merawat wanita renta sepertiku sepanjang waktu.
Kasihan dia. Belum pernah kulihat ia kencan dengan pria manapun. Padahal
ia begitu cantik. Mungkin saja secantik diriku saat masih muda dulu. Eh bukan,
tentunya aku yang lebih cantik, walaupun aku lebih tomboy. Hihi.
“Nenek, Ada telepon dari Zafi. Mau bicara dengannya?”
Tiba-tiba Mila sudah berdiri di pintu kamarku yang selalu terbuka, sambil
menyodorkan handphone nya.
Dadaku berdebar-debar. Apa Zafi akan pulang? Atau, jangan-jangan dia
menelpon untuk memberitahuku bahwa ia tidak jadi pulang?
Melihatku diam saja, Mila bertanya lagi, “Nenek mau bicara dengannya?”
Aku mengangguk.
Mila mendekatiku dan menyalakan speaker handphone nya.
“Nenek…?”
Itu suara Zafi! Cucuku yang badung itu! Oh, mendengar suaranya saja aku
senang. Ternyata tidak benar kalau setahun ini aku membencinya. Aku
merindukannya.
“Ya…” Bisikku.
“Aku kangen Nenek. Apa aku boleh pulang sekarang?”
“Yaa…” Bisikku lagi.
Zafi tertawa, “Aku membawakan oleh-oleh. Sekotak rendang dan sekardus
apel kesukaan nenek Dan Nenek jangan terkejut kalau mendengar kabar baik, bahwa
aku akan segera menikah. Dengan restu Nenek tentu saja.”
Dadaku bergemuruh. Apa?? Menikah? Bagaimana bisa? Beraninya anak itu,
tiba-tiba berkata akan menikah! Bukankah aku harus menyeleksi dulu, siapa yang
boleh menjadi calon istrinya? Dia
cucu kandungku! Atau, apa dia pikir, dia bisa menemukan calon istrinya sendiri,
tanpa aku: Orang yang sudah tua dan sangat berpengalaman? Dia pikir ini dongeng
atau cerpen apa, menikah dengan seseorang yang ia tentukan sendiri? Seenaknya
saja!
“Nenek tak akan merestuimu,”
“Neneekk!!” Zafi berseru dari handphone.
“Beraninya kamu merencanakan pernikahan, tanpa sepengetahuan Nenek. Hanya
Nenek yang bisa memilihkan siapa yang cocok untuk menjadi pasangan hidupmu!
Jangan coba-coba anak muda! Nenek akan… Nenek… kk… Uhukk… uhuk…”
Kambuh lagi. Penyakit yang menggerogoti jasadku yang ringkih. Kelelahan
gara-gara bicara terlalu panjang, menimbulkan batuk, sesak nafas dan susah
bergerak. Nafasku mulai tersengal, dan Mila membantuku berbaring lagi di atas
ranjang.
Mila mengambilkan minum, dan beberapa teguk air membutku merasa lebih baik.
“Nenek jangan marah-marah begitu. Aku sedih melihat Nenek kesakitan seperti
ini,” Ujar Mila, lirih. Sebentar diusapnya tanganku, lalu ia merapatkan
selimutku.
“Tapi Zafi… Zafi… mau mm... nikah”
Mila tersenyum. “Bukannya dulu, nenek bilang akan bahagia bila Zafi segera
menikah menikah?” Tanyanya, sambil meletakkan keyboard ke atas selimutku, agar
aku berhenti bicara dan mengetik: Hal yang sangat kubutuhkan saat ini karena
aku kembali sulit bicara. Mila memang selalu mengerti keadaanku.
‘MEMANG TAPI BUKAN DENGAN WANITA SEMBARANGAN’
Mila tersenyum lagi, “Nenek tidak percaya pada Zafi? Dia
sudah cukup dewasa, Nek. Bukankah lebih baik bila dia sendiri yang mencari
calon pasangan hidupnya?”
‘PALING TIDAK DIA MENGENALKAN DULU CALONNYA KEPADA NENEK. AGAR NENEK TAU
WANITA ITU AKAN MEMBUATNYA BAHAGIA. BILA BOLEH BERKHAYAL NENEK INGIN WANITA ITU
MEMILIKI SIFAT YANG BAIK JUGA KEPADA NENEK, MAU MENYAYANGI NENEK, DAN MAU NENEK
SAYANGI... KIRA-KIRA SEPERTI KAMU, MIL’
Mila tersenyum. Lalu berbisik, “Terima kasih, Nek. Nenek adalah wanita
paling baik yang pernah Mila temui.” Kemudian dengan suara yang agak keras dia
menambahkan, “Ayo minta maaf pada Nenek! Gara-gara kamu Nenek sakit lagi!”
Aku bingung. Apa maksud Mila? Kepada siapa ia bicara? Kepadaku? Tapi
mustahil. Atau ia bicara dengan makhluk halus? Menyeramkan, tapi itu juga
mustahil. Sampai usiaku yang sesenja ini, aku tak pernah percaya kepada yang
namanya takhayul.
“Hehehe… Maaf Nek!”
Tiba-tiba Zafi sudah berdiri di pintu kamarku yang selama setahun ini tak
pernah kututup. Tanya kenapa? Karena aku selalu menanti cucuku itu datang,
berdiri di
sambil mengatakan ‘Aku Pulang,’
Dan ternyata dia memang berdiri di
saat ini. Tampan sekali, dengan jas hitam dan dasi. Kedua tangannya menenteng
bawaan yang agaknya cukup berat.
“Aku pulang,”
Bintang jatuh! Harapan menjadi nyata!
Zafi menghampiri kami. Sebentar ia mengecup dahiku yang penuh kerutan,
dan membuat gerakan ingin mencium pipi Mila. Tapi Mila lebih dulu mengelak.
“Belum boleh,” Ujarnya sambil tersenyum.
Tinggal aku dan usiaku yang senja: melongo. Bingung.
“Jadi kapan aku bisa menikah?” Zafi mengusap rambutku penuh kasih. Aku
hanya diam. Mencoba memahami semua ini – yang sungguh, lebih membingungkan
daripada teka-teki silang. Belum lagi otakku pun sudah mulai senja, sesenja
umurku, sesenja namaku. Tidak. Aku tidak mengerti.
‘KAMU TDAK BOLEH MENIKAH DENGAN WANITA SEMBARANGAN.’
Zafi tersenyum lagi, penuh misteri. “Aku tahu, Nek. Jadi kapan aku bisa
menikah?”
Aku mengetik lagi, ‘KAMU BOLEH MENIKAH SETELAH NENEK MENGENAL WANITA ITU
DAN MERESTUI HUBUNGAN KALIAN’
Zafi berhenti tersenyum, ia tertawa. “Apa satu tahun belum cukup untuk
Nenek, mengenal calon istriku?”
Satu tahun? Apa maksudnya?
Mila mencubit bahu Zafi gemas, “Jangan bercanda lagi! Kasihan Nenek!”
“Hehe. Maaf sayang, maaf Nek.”
Pernahkah kamu mendengar petir di tengah hari yang cerah? Belum pernah?
Kalau begitu bayangkan saja: Kira-kira apakah kamu akan terkejut? Kalau
imajnasimu bagus, maka kamu akan bilang “Iya” dan kamu pasti mengerti bagaimana
rasanya. Dan tidak main-main, detik ini aku merasakan petir menyambar dalam
dadaku. DHUARR!! Aku terkejut.
Keyboard di atas selimutku merintih lagi, karena jemariku mengetik lebih
cepat dan lebih keras. ‘DENGAN MILA?? KAMU??’
“Hehe,” Cucuku Zafi tertawa malu, memamerkan senyuman manja. Dasar!
Oke. Ini cukup memalukan untuk diceritakan. Tapi aku tak boleh berbohong
dan menutupi semuanya. Aku, Si tomboy Senja kesayangan ayahku, gadis berkepang
dua yang hampir tak pernah memakai rok, yang dulu senang memanjat pohon,
berenang di sungai dan bermain layangan: Menangis hanya karena cucuku
akan menikahi gadis baik yang setahun ini merawatku. Aku menangis terharu!
Kacau!
Dengan senyum yang berserakan, Mila bercerita padaku, tentang rencana
panjang yang disusun Zafi, cucuku yang nakal itu. Intinya adalah membuatku
mengenal Mila, sekaligus menyayanginya agar aku tak menolaknya bila kelak ia
menjadi istri cucuku. Cucu yang benar-benar menyayangiku, sampai-sampai ia tahu
kehendakku, bahwa aku tak menginginkan wanita manapun sebagai istrinya kecuali
yang kukenal, kusayangi dan menyayangi kami berdua. Alasan yang membuatnya
meminta Mila bersabar menunggu, setahun lamanya hanya untuk mencuri hatiku.
Dernyata ia sibuk setahun ini bukan karena gila uang. Ia malahan sibuk
menjual warisan almarhum anak-menantuku, dan menyumbangkan sebagian uangnya
untuk panti asuhan. Ia sibuk menghabiskan uangnya untuk membangun yayasan
kemanusiaan. “Tak ada gunanya banyak uang bila aku tak bisa membahagiakan Nenek
dan Mila. Lebih baik warisan Papa dan Mama untuk membahagiakan orang lain
saja.”
Tanganku gemetar, badanku sedikit lemas. Tapi tetap, dengan kesungguhan
seorang Nenek dan tekad seorang mantan penulis, kuletakkan jemariku di atas
keyboard dan mengetik.
‘KAU MENANG ANAK MUDA! KAU DAPAT RESTUKU!’
Zafi dan Mila tersenyum di hadapanku, menatapku dengan penuh kebahagiaan.
Segera ia memeluk jasadku yang kurasa mulai berbau tanah, sambil berbisik bahwa
ia rindu berat, padaku dan Mila. Dasar bocah. Aku juga rindu padamu, cucuku
sayang.
Epilog
“Nenek Uyutt!”
Rizki memangilku, cicitku yang baru
3 tahun umurnya. Ya, anak dari pernikahan Zafi dan Mila 4 tahun yang lalu.
“Aku puyaang,”
Ujarnya sambil berlari dari pintu kamarku yang tak lagi pernah kukunci.
Sebentar ia naik ke atas ranjangku, dan mencium dahiku. Aku tak bisa bicara
lagi sekarang. Tapi aku masih bisa tersenyum, dan merengkuh cicitku itu. Bila
boleh berkhayal bicaraku masih lancar, ingin rasanya kuucapkan sebaris kalimat
pada Rizki. Sebaris saja.
“Seandainya Kamu tahu, Kamu sangat mirip dengan ayahmu anak muda!”
Aku adalah Senja. Dan aku adalah Senja yang senja. Senja untuk namaku,
dan senja untuk usiaku.
0 comments:
Post a Comment