You Guys...Sebenarnya saya belum terlalu berani posting tulisan sembarangan...
Coz masih takut pembajakan...
Hoho... Tapi, berhubung ini bakal dijadikan cerita serial, jadi saya rasa kalo ada yang mau membajak, dia/mereka tidak akan bisa berkutik, coz gak tau kelanjutan cerita aslinya gimana. [LOL]
Hehe. Met baca deh....
-----Junn Series #1 – Pertemuan dengan teman baru-----
“Junn! Udah setengah tujuh!”
“Iya, ma. Bentar!” Junn menyahut sambil mengikat tali sepatunya. Dengan gesit, ia berlari ke arah garasi. Saat melewati meja makan, masih sempat mencomot roti selai stroberi yang sejak tadi di siapkan mama.
“Pergi dulu ma, Assalamualaikum!” Ujarnya sambil mengecup pipi dan tangan mamanya, kemudian masuk ke mobil. Tanpa menunggu, Papa menyalakan mobil dan menjauh.
Indahnya pagi di kota padang. Langit masih pucat. Matahari masih mendengkur berselimut awan di langit timur. Seberkas cahayanya yang luput terselimut menyembul, berusaha menampakkan keindahannya walaupun samar, membekas berupa bias.
Udara masih sejuk, belum terkontaminasi oleh debu dan asap-asap kendaraan. Suara burung masih terdengar, walaupun semakin lemah seiring semakin merang
kaknya jarum menit. Rumput-rumput dan pohon-pohon masih segar. Kadangkala masih terlihat ujung-ujungnya berkilau-kilau, karena cahaya menembus butiran embun.
Tanpa sadar, Junn tersenyum sendiri. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah setelah setengah bulan lalu kelulusannya di SMP. Dan ternyata, Mama serta Papanya telah mendaftarkannya ke sebuah SMA di padang. Mulanya ia kaget saat mengetahuinya. Gila, sekolah di Padang! Kota yang amat jauh dari rumahnya, Jambi!
Yah, walaupun sudah 15 tahun, ia tetap merasa sulit untuk jauh dari orang tuanya. Ia merasa masih belum cukup mandiri untuk hidup sendiri di usianya itu. Apalagi ia adalah seorang anak perempuan. Apa Papa dan Mama tidak berpikir betapa bahanya anak perempuan sendirian di kota besar? Namun, ternyata ia salah mengira, sebab ternyata orangtuanya juga telah lama merencanakan pindah rumah ke Padang. Terbukti dengan telah selesainya rumah baru mereka beberapa bulan yang lalu. Artinya, Junn tak perlu khawatir.
Yang mungkin menjadi sedikit masalah ialah, ia harus berpisah dengan sahabat-sahabatnya di Jambi. Walaupun hanya berlangsung tiga tahun selama masa SMP, tapi Junn merasa sudah terlalu dekat dengan mereka, bahkan rasanya sudah seperti saudara. Karenanya, ia merasa sedikit sedih. Yah, paling tidak ia masih bisa berkirim email dengan mereka.
Masalah lainnya ialah, ia baru pindah ke Padang 2 hari yang lalu dan langsung masuk sekolah hari ini. Otomatis ia belum punya teman. Sebenarnya tak masalah, karena ia tipe anak yang mudah bergaul. Sayangnya, ia merasa sedikit gugup bila berada di suatu tempat tanpa kenal dengan seorangpun.
“Ciit…Ciiit!!”
“BRAKK!!!”
Junn kaget. “Ada apa, Pa?”
“Ada tabrakan,”
Junn membuka jendela mobil. Sebuah angkot berhenti di atas sebuah trotoar. Bagian depannya penyok, menempel di sebuah tiang iklan.
Terdengar bunyi ribut dari penumpangnya. Mereka keluar dari angkot sambil mengomel. Beberapa orang mengeluh dan mengaduh. Ada yang kaget, ada yang shok. Anak kecil yang digendong ibunya malah sampai menangis histeris. Tampaknya tak ada yang terluka. Hanya kecelakaan kecil saja.
Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seorang gadis berjilbab lebar dan berseragam putih abu-abu seperti dirinya, yang berdiri mengaduh sambil memegangi lututnya. Roknya robek di bagian itu, dan samar-samar kelihatan bernoda darah.
“Astaghfirullah Alazim!” bisiknya sambil membuka pintu mobilnya. Sebentar ia meraih lengan gadis itu dan membantunya masuk ke mobil.
“Pa, minta obat merahnya!” Ujar nya cepat. Dari laci kecil di sebelah setir, Papanya mengeluarkan obat merah beserta kapas, dan menyerahkannya pada Junn.
Dengan cekatan ia membersihkan luka gadis itu, kemudian mengobatinya dengan obat merah. Ternyata pengalamannnya mengikuti ekstra kurikuler Palang Merah Remaja banyak juga gunanya.
“Ouhh…” Gadis itu meringis sambil berusaha menahan perih.
“Maaf, sakit ya?” Tanya Jun sambil meniup-niup lutut gadis itu. “Namanya siapa?”
“Riri…”
“Aku Junn. Nah, lukamu sudah diobati, mungkin nanti siang sudah kering. Eh, kamu sekolah di mana, Ri? Biar aku antar,”
“Aku… Aku sekolah di SMA Bunga Bangsa,”
“Wah, sama. Kalo gitu kita berangkat bareng aja,”
Riri mengangguk, sambil mengucapkan terima kasih.
Sepanjang jalan,Junn bercakap-cakap dengan Riri. Tentang Bangunan-bangunan di pinggir jalan, tentang alamat masing-masing, malah saling tukar nomor Handphone segala. Dan ternyata Riri juga baru masuk kelas sepuluh, sama seperti dirinya.
“Pergi dulu, Pa. Assalamu’alaikum,”
“Pergi dulu, Pak. Assalamu’alaikum,”
“Wa ‘alaikum Salam. Hati-hati lukanya, Ri.” Ujar Papa Junn, dan mobil kijang hitam itu pun perlahan menjauh.
Junn merangkul lengan Riri, membantunya melangkah. Luka memar di lututnya membuat jalannya sedikit pincang.
“Ayo, Ri. Nggak usah terburu-buru. Nanti lukanya tambah sakit”
“GREEEKKK!!!!!” Terdengar sebuah bunyi nyaring. Junn dan Riri terperanjat.
[BERSAMBUNG]