Saturday, November 13, 2010

Si Udin Tembus!

Asl.
    Pasti ada yang kaget deh, ini judulnya apa-apaan sih? Atau ada yang berkomentar, aneh banget si Udin. Hoho... Well, itu judul cerpen saya yang dimuat di koran Singgalang , koran nasional sumatra barat, edisi Rabu 10 November 2010. Dan sesuai apa yang saya ucapkan dulu, bahwa saya tidak mau mempost cerpen sembarangan, karena takut pembajakan. Nah, berhubung yang satu ini udah tercantum hak miliknya secara resmi, maka dengan senang hati saya bersedia mempublish nya di gubuk reot ini.

You Guys! Cari posisi duduk yang enak. Siapkan minum, cemilan dan sebagainya, Coz this gonna be a long day. Hehe... Met baca ya :)



------------Si Udin Tembus------------

     Si Udin Tembus!
    Tak ada yang menyangka, kedatangannya malam jumat itu ke rumah bang Kasim si juragan togel membawanya kepada kebahagiaan. Empat digit nomor yang dipasangnya malam itu tembus, melahirkan dua puluh juta rupiah.

    Warga kampung baru geger. Selama setengah tahun ini, si Udin terkenal sebagai ‘player’ togel yang dungu. Hampir di setiap pengumuman nomor togel yang tembus, ia mencak-mencak, menghentak-hentakkan kaki kesana-kemari.. Pernah pula ia berteriak-teriak tak karuan, sampai menangis segala. Tak jauh beda dengan orang gila di kaki bukit sana, hanya karena empat digit nomor yang ditebaknya selalu salah. Tak pernah sekalipun ada kemiripan dengan nomor yang tembus. Satu digit pun tidak.

    Tapi, malam itu lain. Empat nomor yang dituliskannya di kertas togel ternyata sama dengan empat nomor yang dibacakan bang Kasim. Awalnya ia ragu, karena yah… Kemenangan bagi seorang pecundang yang selalu kalah itu kadangkala sangat sulit dipercaya, dan sulit diterima logika. Ibarat burung perkutut yang setelah bertahun-tahun akhirnya dilepas dari sangkarnya. Jadi gagu. Antara tak percaya, takjub dan takut. Karena itu, ia sampai memastikan kebenaran pendengarannya berkali-kali.

    “Benar Bang, tiga-satu-kosong-sembilan?”
    “Iya, Din. Kan tadi juga sudah kubilang.” Bang Kasim tersenyum sumringah. Ada sedikit harapan di ubun-ubunnya. Biasanya pelanggannya yang baru pertama kali menang togel akan memberinya bagian. Dan hal itu yang membuatnya betah menjalankan bisnis togel.
    “Periksa lagi lah, Bang. Tiga-satu-kosong-sembilan.”
    Bang Kasim sampai merasa bosan. Kalau bukan karena berharap akan mendapat bagian, sudah dari tadi ia menjotos kepala si Udin. “Iya, tiga-satu-kosong-sembilan.”
    Saat Bang Kasim menyerahkan amplop tebal berisi dua puluh juta, barulah si Udin percaya. Ia menang togel! Dan setelah menyelipkan selembar lima pulur ribuan ke kantong Bang Kasim, ia berlutut di tanah, menghadap langit lalu berteriak, “Aku sudah kaya! Sekarang aku orang kaya!”

    ‘player’ togel lain yang tidak beruntung malam itu hanya bisa memandang iri. Pengumuman pemenang togel yang hanya sebulan sekali dan sudah mereka tunggu-tunggu itu ternyata berakhir sia-sia. Pemenangnya bukan mereka. Harapan untuk kaya mendadak pupus sudah, berganti penyesalan di relung dada. Kenapa mereka mau membuang-buang tujuh puluh lima ribu rupiah hanya untuk membeli kertas togel? Kenapa tidak dibelikan kebutuhan pokok saja?

    Padahal sebagian besar warga kampung baru memilih bertani untuk mencari penghidupan. Beberapa diantaranya malah nekat menjadi buruh pabrik karet, dengan gaji dua puluh delapan ribu seminggu. Itupun sudah kerja keras dari subuh sampai magrib.

    “Brengsek si Udin! Baru lima bulan ikut langsung tembus. Saya sudah setahun lebih ikut belum tembus-tembus!” Pak Suprana mendengus kesal, sambil melempar gulungan kertas berisi nomor yang salah di genggamannya ke tanah..
    “Lah, Pak Sup ini gimana? Orang itu sudah rejeki dia, mana boleh disalah-salahkan?” Mbok Nah yang berjualan gado-gado di samping bandar togel Bang Kasim mengomentari. “Saya ini heran lho, kok Pak Sup mau-maunya beli togel tujuh puluh lima ribu? Buang-buang duit saja.”
    Pak Suprana mendesah, “Yah, namanya juga cari peruntungan, Mbok. Kalau menang kan bisa kaya mendadak. Tak perlu lagi kerja keras. Tak perlu lagi aku mencangkuli sawah orang untuk mencari makan.”
    “Mana buktinya? Katanya sudah setahun lebih ikutan. Nyatanya belum dapat-dapat juga kan? Itu kan sama saja buang-buang duit?”
    Pak Manto yang kebetulan juga gagal dapat togel ikut duduk di warung Mbok Nah, dan angkat suara, “Itu namanya modal, Mbok. Nanti kalau menang, kan modalnya kembali lagi. Berpuluh-puluh kali lipat, malah.”
    “Kalau kalah?”
    “Dalam permainan itu kan biasa ada kalah menang.”
    “Kalau kalah melulu gimana dong?”
    “Yang penting jangan menyerah. Siapa yang tahu kalau dicoba lagi bakal menang?”
    “Kenapa tidak berhenti saja, Pak? Lebih baik duitnya dipakai untuk yang lebih penting,”
    “Tanggung Mbok, sudah terlanjur mengeluarkan modal. Kalau berhenti sekarang tentu rugi besar. Nanti sajalah, kalau sudah menang, baru berhenti.”
    “Iya kalau menang. Kalau sampai mati nggak menang-menang?” Tanya Mbok Nah sengit.
    “Ah, si Mbok ini bisanya mengoceh saja. Sudah, ambilkan saya kopi pahit. Ngutang dulu, besok dibayar.”
    Mbok Nah melangkah ke dapur sambil menggerutu, “Huu, lagaknya mau bayar besok. Utang yang kemarin-kemarin juga belum dibayar,”


     Malam itu, si Udin susah tidur. Amplop coklat berisi duit sembilan belas juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah yang berhasil dimenangkannya tak bisa lepas dari dekapannya. Seolah-olah amplop itu akan hilang, kalau sampai dekapannya terlepas.
    Hmm, mau kubelikan apa duit ini? Pikirnya. Apa kubelikan rumah baru saja, untuk calon istriku nanti? Ah, sayang. Nanti tak ada sisa lagi buat beli yang lain. Apa kubelikan kulkas saja, biar bisa minum es kelapa tiap hari? Ah, nanti aku tak sanggup bayar listriknya. Apa kubelikan mobil saja, biar bisa pergi kemana-mana? Ah, aku belum bisa bawa mobil. Bawa sepeda ontel saja masih sering jatuh. Jadi, harus aku belikan apa duit ini?

    Malam semakin larut. Si Udin masih juga memikirkan akan dibelikan apa duitnya itu. Aku harus mempergunakannya untuk membeli barang yang belum pernah kudapatkan. Aku harus mempergunakannya untuk merasakan hal yang belum pernah kurasakan. Pikirannya berkecamuk.
    Hm, apa kubelikan emas saja? Nanti ditumpuk dirumah. Kalau harganya di pasaran tinggi, aku jual lagi. Bisa lebih banyak duitku.
    Hm, apa kubayarkan pada bandar germo saja? Biar nanti aku bisa bersenang-senang seharian dengan pelacur? Tapi, Ah. Lebih baik jangan. Aku takut dosa.

    Si Udin makin susah tidur. Seumur hidup mungkin inilah kali pertama ia memikirkan suatu hal yang rumit. Biasanya pikirannya tak jauh-jauh dari makan dan tidur. Seperti kucing.
    Udin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa aku belikan beberapa sepeda motor saja? Nanti bisa kusewakan pada bujang-bujang pengangguran agar dibawa mengojek. Siapa tahu di sana peruntunganku, dapat setoran banyak setiap hari, padahal bukan aku yang kerja.
    Atau apa kubelikan gerobak-gerobak  saja? Nanti bisa kusewakan pada bujang-bujang pengangguran agar dibawa menjajakan mie atau bubur ayam keliling kampung. Siapa tahu di sana peruntunganku, dapat setoran banyak setiap hari, padahal bukan aku yanng kerja.

    Mendadak ia tersenyum sendiri. Bila pikirannya terwujud, tentu ia akan berjasa bagi negara. Karena bantuannya, jumlah pengangguran yang makin menyemut di negara ini bisa berkurang jumlahnya. Jangan-jangan ia akan disalami presiden, karena berjasa meningkatkan perekonomian dengan membuka lapangan kerja untuk para pengangguran.
    Wah kalau benar demikian, tentu ia akan sangat bangga. Jangan-jangan presiden akan memberinya hadiah sebagai ungkapan terima kasih? Barangkali ia akan diberi sebuah mobil mewah? Atau sebuah rumah lengkap dengan kolam renangnya? Gawat, jangan-jangan ia akan diberi jabatan sebagai anggota DPR! Bagaimana ini? Aku kan tak bisa baca tulis? Mendadak Udin panik.

    “SRAKK… SRAKK…”
    Terdengar bunyi dedaunan kering terinjak. Si Udin kaget bukan kepalang. Tubuhnya menguapkan keringat dingin. Suara apa barusan?
    “SRAKK… SRAKK…”
    “TAP… TAP…”
    Udin mempertajam telinganya. Diantara suara daun kering terinjak, samar-samar ia mendengar derap sendal. Suara apa itu? Kalau hantu tidak mungkin. Mana ada hantu punya kaki? Sampai pakai sendal segala?
    Jangan-jangan maling! Pikirnya. Tapi seumur hidup, belum pernah ada orang yang mau maling dirumahnya. Siapa yang mau maling di gubuk reot yang hampir tak berperabotan? Melihat dari jauh saja maling bakal kehilangan selera.

    Udin tersentak. Benar juga, sekarang ia punya sembilan belas juta sembilan ratus lima puluh ribu! Jangan-jangan maling itu tahu bahwa malam ini ia menang togel. Jangan-jangan maling itu mengincar uangnya!
    Terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Jangan-jangan maling itu membawa senjata! Pikir Udin panik. Segera ia beranjak ke dapur, mencari apa saja yang bisa dijadikan senjata.
    Satu-satunya yang bisa digunakan hanya pisau kecil yang biasa dipakainya bekerja, untuk membelah jengkol atau pinang di rumah Bu Rurum tetangganya. Mana mungkin maling itu bisa lumpuh dengan pisau ini? Tapi ah, tak ada salahnya dicoba. Paling tidak lumayan untuk melindungi duitku. Pikirnya lagi.

    Sambil berjingkat ia mendekati pintu. Sementara langkah-langkah kaki mulai tak kedengaran lagi. Udin menggenggam gagang pintu reotnya. Saat terdengar suara batuk, dengan cepat ia  membuka pintunya dan mengacungkan pisau dapurnya ke depan dengan tangan kanannya. Tangan kirinya mendekap amplop coklat.

    Seorang lelaki berbaju hitam dan berlilit sarung berdiri di depannya sambil menghembuskan asap rokok. Wajahnya tertutup topeng batman, membuat Udin tak bisa menebak siapa lelaki itu. Tapi ia yakin orang itu adalah orang yang ikut togel di tempat Bang Kasim, tapi tidak menang. Makanya dia mengincar duit togelnya.
    “Siapa kamu?” Tanya Udin dengan suara yang dilantangkan. Siapa tahu lelaki itu gentar mendengarnya.
    “Serahkan amplop itu!” Lelaki bertopeng itu memerintah dengan suara dibesar-besarkan.
    “Langkahi dulu mayatku,” teriak udin sambil menodongkan pisau pembelah jengkolnya, dan bersiap untuk melangkah.
    Tiba-tiba ia ambruk ke depan, lalu terdengar suara tawa dari belakangnya. Rupanya ada yang mengikat kakinya dari belakang.
    “Kurang ajar! Siapa kalian semua, hah!?”
    Lelaki bertopeng tadi menendang kepala Udin, lalu merebut amplop coklat dalam dekapannya. “Kalau kau serahkan dari tadi kan enak. Tak perlu ada kekerasan.”
    Udin menjerit, “Kurang ajar! Kembalikan duitku!”
    Dua orang di belakangnya tertawa terbahak-bahak, meledek. Seakan-akan Udin adalah anak kambing yang terperosok ke dalam comberan. Udin berusaha menoleh ke belakang, mungkin saja ia kenal wajah mereka. Tapi tak bisa, kepalanya terasa ngilu setelah ditendang lelaki bertopeng di hadapannya.
    “Bang, dia minta bagian tuh,” Kata salah seorang diantara mereka.
    Lelaki bertopeng menciumkan amplop coklat itu ke hidup Udin yang mengalirkan darah. “Nah, kau dapat wanginya saja.” Katanya, lalu melangkah pergi.
    Dua orang di belakang Udin kembali tertawa-tawa.
    “Jahanam! Kembalikan duitku!” Teriak Udin. Air matanya mulai mengalir. Ia tak rela duit yang setelah sekian lama akhirnya ia dapatkan pergi begitu saja.
    Udin mencoba berdiri. Aku harus mengambil lagi duitku, pikirnya. Akhirnya ia bisa berdiri, dan mencoba melangkah walaupun sempoyongan.
    “Setan alas! Kembalikan duitku!” Teriaknya lagi.
    Seseorang di belakangnya memegangi kedua tangannya. Kemudian seorang lagi muncul di hadapannya dan memukul wajahnya berkali-kali. Terakhir ia menendang perut Udin, dan mendorongnya hingga tergolek di tanah.
    “Nih, aku langkahi mayatmu,” Kata salah seorang di antara mereka, kemudian ia melangkahi kepala Udin.
    Lantas keduanya tertawa, dan menyusul lelaki bertopeng tadi pergi menjauh.
    Udin menangis. Hilang sudah duitnya sembilan belas juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah. Ditambah lagi, sekarang wajahnya lebam, hidungnya berdarah, lututnya memar, dan perutnya terasa akit sekali.
    Aku tak boleh menyerah. Aku harus mengejar mereka, dan merebut kembali duitku! Aku harus merebut kembali duitku! Batinnya.

    Dengan susah payah Udin mencoba berdiri, dan melangkah. Perlahan-lahan ia mulai bisa berlari, walau sangat lamban dan sempoyongan. Pandangannya semakin kabur, seiring dengan semakin membengkaknya kelopak matanya.
    Udin mempercepat langkahnya. “Dimana kalian? Brengsek, sini kalau berani!” Teriaknya dengan air mata bercucuran.
    “AAAAAAAAA…..” Udin menjerit histeris di langkah terakhirnya. Ia melangkahkan kaki kanannya ke depan, dimana tak ada pijakan selain awang-awang. Ia jatuh, masuk ke jurang.

    “Din. Kalau mau tidur jangan di sini,” Tiba-tiba Udin tersentak, dibangunkan Mbok Nah.
    “App… Aku dimana?” Tanya Udin dengan suara lemah.
    “Di warung saya. Katanya tadi kamu menunggu pengumuman nomor yang tembus,” Ujar Mbok Nah.
    Udin menarik napas dalam-dalam, lega. Ternyata barusan ia hanya bermimpi. Mimpi buruk. Syukurlah, ternyata aku tidak dipukuli. Syukurlah, ternyata aku belum mati. Bisiknya pelan.

    Bang Kasim mucul dari pintu rumahnya. Sebentar ia mengacungkan amplop coklat berisi duit dua puluh juta dengan tangan kanannya.
    “Saudara-saudara sekalian. Sekarang saya akan mengumumkan nomor yang keluar malam ini.” Katanya dengan suara lantang.
    Semua orang menahan nafas, tegang. Dalam masing-masing kepala mereka terbayang mereka membawa pulang amplop seharga dua puluh juta. Beberapa diantaranya malah sibuk komat-kamit mulutnya, berdoa semoga nomor dalam genggamannyalah yang dibacakan bang Kasim.

    “Dasar orang zaman sekarang, pemalas tidak ketulungan. Mencari rezeki kok, dengan jalan yang tidak benar begini. Judi itu kan dosa. Nanti kena azab baru rasa,” Mbok Nah tak tahan berkomentar, meliat gelagat ‘player’ togel di depan warungnya.
    Pak Suprana hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya, sambil menggenggam erat kertas bernomor ditangan kanannya.

    “Dan nomor yang keluar malam ini adalah tiga-satu-kosong-sembilan!” Seru bang Kasim. Disambut keluhan dan desahan-desahan kecewa dari gerombolan di depannya.
    Udin diam saja. Diliriknya kertas bernomor di genggamannya.
    “Nomor siapa itu, Bang?” Pak Manto bertanya.
    “Oh, itu si Udin.” Jawab bang Kasim dengan senyum sumringah. Ada sedikit harapan di ubun-ubunnya. Biasanya pelanggannya yang baru pertama kali menang togel akan memberinya bagian.

    Udin berlutut di tanah, menghadap langit lalu berteriak, “Aku tidak mau kaya! Aku tidak mauuu!!!” Jeritnya sambil menangis tersedu-sedu, lalu semaput tak sadarkan diri.
    Kerumunan orang di sana menatap Udin yang pingsan dengan tatapan heran. Baru pertama kali terjadi di kampung itu, ada orang menang togel sampai pingsan segala. Ada juga yang bersimpati. Kasihan juga, ada orang miskin yang jadi sinting gara-gara mendadak kaya.

    Mbok Nah tak tahan untuk berkomentar lagi, “Lihat, contoh nasib pencari rezeki dengan cara yang salah. Untung cuman pingsan. Coba kalau dia sampai mati melompat ke jurang?”

Padang, 26 September 2010


Bila tetangga atau penunjung berkenan memberikan masukan agar untuk ke depannya lebih baik, silahkan kirim kritik, saran dan masukan anda ke Just_aul@ymail.com
Email terbaik akan di publikasikan dalam file cerpen ini (Yang rencananya dijadikan Ebook dan bisa di download. Tunggu aja tanggal mainnya :) beberapa waktu kemudian.
Oh ya, bila terasa sulit buka email, don't worry! masukin aja komentar nya di kolom komentar postingan ini...
:)

Terima kasih atas bantuannya!!

Dengan secangkir teh dan biskuit,
~ AuL ~

Follow Me On Twitter

0 comments:

Post a Comment

My Ping in TotalPing.com
submitgooglesitemap.com Sitemap Generator